Wednesday, September 28, 2022

Teks Cerita Sejarah Pribadi - Anak Perempuan Pertama

Anak Perempuan Pertama

Karya: Rona Nabila


25 April 2006, terlahir seorang anak perempuan di sebuah rumah sakit di kota Bandung. "Selamat Bu, anak ibu perempuan ternyata bukan laki-laki seperti yang ibu harapkan dulu", ucap seorang dokter kepada Sang Ibu. "Walah, saya kira laki-laki, biar ganteng maksimal kayak ayahnya dok" ucap Ibu dari anak itu sambil terkekeh. Anak itu lahir dari pasangan Sri dan Kasno yang menikah di penghujung tahun 2005, tepatnya pada 31 November 2005. Anak itu bernama Rona Nabila yang sering dipanggil Bila oleh orang rumahnya. 

Memang, sedari dulu ia bukanlah anak perempuan yang diinginkan. Mereka selalu membicarakan "seandainya" ia adalah lelaki, ia dapat memimpin keluarga, ia yang akan terbaik. Namun, jelas kenyataan tidak demikian dan mereka harus menerima apa yang Tuhan titipkan kepada mereka. Segala yang ada di dunia ini memang tak ada yang sempurna bukan? 

Setelah seminggu berlalu, keluarga kecil mereka yang hanya beranggotakan tiga orang yaitu ayah, ibu, dan anak diperbolehkan pulang dari rumah sakit karena keadaan Sang Ibu dan Anak telah stabil. Mereka pulang ke rumah mereka yang kecil dan berada di gang sempit dan kumuh yang berlokasi di Jalan Kalidam. Maklum, perekonomian mereka bukan tergolong ekonomi standar ataupun tinggi. Perekonomian mereka dapat dikatakan lemah karena yang bekerja hanya Sang Ayah dengan profesi sebagai pedagang cuanki keliling. 

Beberapa bulan pun berlalu. Tanpa orang tuanya sadari, sedari ia lahir hingga hampir berumur satu tahun ia hanya diajarkan untuk membaca, menulis dan berhitung serta bahasa Inggris. Orang tuanya merasa kurang dengan hal tersebut karena mereka yakin bahwa anak mereka dapat melakukan lebih daripada itu. Namun, apa yang dapat dilakukan bayi berusia kurang dari satu tahun itu? 

Setelah sadar bahwa mereka melakukan hal yang lupa untuk dilakukan, mereka memutuskan untuk segera melakukannya. "Kita harus cepat-cepat mengajarkan caranya berteman nih" ucap seorang lelaki tak berperasaan yang tak dapat mengerti anak balita tersebut. "Apa tidak terlalu cepat? Dia bahkan belum mengerti apa yang kita katakan setiap hari" sambut sang istri. "Kasih ibu tak terhingga sepanjang masa, kamu pasti bisa" celetuk suaminya. Istrinya pun hanya menurut karena tidak dapat menolak perkataan suaminya itu. 

Istrinya pun berpendapat, "Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan refreshing, kan kasian masih bayi udah disuruh calistung sama bahasa Inggris?" ucap Istrinya. 

"Jalan-jalan gak bakalan bikin pinter, jangan sok ngasih ide deh kamu" ungkap tak setujunya suami. 

"Kasian loh anak kecil gini udah berat otaknya nanti bersarnya bakal jadi lemot, kamu aja dulu ga kaya gini udah lemot, apalagi dia" ucap Sang Istri membangkang. 

"Yaudah terserah kamu soalnya aku capek debat, kamu mau liburan kemana memangnya?" tanya Sang Suami. 

"Lebih ingin di Jakarta sih, di Ancol kek atau Dufan kan seru daripada di rumah setiap hari ngurusin anak yang cuma disuruh belajar?" ucap Sang Istri. Suaminya pun menurut dan menyetujuinya. "Kalau kamu memaksa ya aku tinggal cari duit, makanya kalau punya keinginan jangan sudah pas waktunya sudah mepet baru minta" suami mengeluarkan nada tinggi. “Maaf memang salahku tapi tidak ada salahnya kan jalan-jalan sekeluarga seperti keluarga lain?”, pinta Istri malu-malu. “Iya, sekitar sebulan lagi ya lagian keuntungan bulan cuangki sehari cuma berapa sih, nanti sisanya kita pakai tabungan dan buat berangkat pake bus Damri saja biar murah” suami menyatakan rencananya. “Harusnya kamu gini dari dulu, biar aku sama anak kamu seneng bisa haha hihi” ucap Sang Istri. Suaminya pun hanya mengiyakan apa yang ia katakan. 

Satu bulan pun berlalu, Sang Istri menanyakan janji liburan bersama kepada suaminya. 

“Kapan berangkat ke Jakarta nih, jualan cuangki terus” ucap Sang Istri yang sedang kesal. 

“Mau hari ini juga bisa” ucap Sang Suami menyatakan persetujuan. 

“Aku beresin baju-baju kalian dulu ya, besok berangkat pokoknya aku gamau kamu janji terus nanti lupa lagi kayak dulu” ucap Sang Istri. 

“Iya cepet sana beres-beresnya, lagian mau kemana sih liburan ke Jakarta tuh?” tanya Suami. 

“Dufan yuk, kita nginep sehari aja gitu abis itu pulang lagi” pinta Sang Istri. 

“Iya ayok, kamu abis beres-beres langsung istirahat buat besok” ucap Suami. 

Mereka pun berangkat keesokan harinya, pada tanggal 31 Januari 2007. Hari itu merupakan hari yang cerah namun sedikit mendung. Mereka memutuskan berangkat dengan menggunakan bus agar perjalanan tidak memakan banyak biaya. Selain itu, mereka juga tidak punya kendaraan sehingga memutuskan untuk menggunakan bus. 

“Kapan sampainya sih, udah panas nih anak juga rewel kalo kepanasan” celetuk Istrinya. 

“Bentar lagi juga turun, sabar sedikit ya anakku” ucap Sang Ayah menenangkan sambil mencium kening anak pertamanya. 

“Ayok turun turun, udah sampai di terminal akhir” ucap sopir bus sambil berteriak kepada seluruh penumpangnya. 

“Udah dibilangin bentar lagi kan, ayo turun siap-siap” suruh Suami. 

Mereka pun turun dari bus bersamaan dengan penumpang lain, dan tak lupa menenangkan anak yang sedari tadi menangis karena kepanasan. Perjalanan mereka dari rumah hingga ke Jakarta memakan waktu lebih dari enam jam. Karena bingung harus ke arah mana untuk ke tujuan, sang ayah bertanya kepada orang sekitar terminal. 

“Pak mau nanya, kalau Dufan masih jauh dari sini kah pak? tanya Ayah. 

“Lumayan pak, kalau bapak pakai ojek pasti mahal kecuali pakai bajaj” jawab bapak tersebut. 

“Kalau pakai bajaj dari sini sampai kesana kira-kira sampai lima puluh ribu tidak pak?” tanya Ayah. 

“Paling dia puluh sampai tiga puluh ribu pak” kata Sopir bajaj. 

“Boleh deh, antar saya sekeluarga pakai bajaj ya pak kebetulan kami sedang mau liburan sama-sama” ucap Ayah. 

“Ayo pak, keburu hujan” kata Sopir bajaj. 

Karena cuaca yang memang kurang bersahabat, mereka memutuskan untuk tidak langsung pergi ke dufan, melainkan mencari penginapan. Untuk penginapan, pasti mereka mencari yang sesuai budget yang mereka punya karena seperti yang kita ketahui, mereka bukanlah orang yang berkecukupan namun tetap ingin pergi berlibur. Penginapan mereka terletak sekitar 3 kilometer dari Dufan, karena mereka memutuskan untuk menginap di sebuah kamar kost yang berada di pemikiman kumuh Jakarta yang sepanjang jalannya berbau tidak sedap dan di depan penginapan itu terdapat sumur warga yang tidak ditutup 

Sedari mereka datang hingga mereka ingin tidur di malam hari, hujan deras tak berhenti mengguyur kota Jakarta. Anak mereka yang mulai kedinginan pun mulai merengek. 

“Cup cup cup anakku sayang, mama selimutan ya biar ga kedinginan. Maafin hujannya nakal ya sayangnya mama jadi kedinginan” ucap Sang Ibu. 

“Yakin yang diselimutin cuma anaknya?” ucap Sang Ayah cemburu. 

Karena mendengar perkataan suaminya, Sang Ibu pun sambil terkekeh membagi selimut itu untuk keluarga kecilnya. 

Hingga malam hari itu, terpantau bahwa banjir sudah mulai merebak ke dalam penginapan. Tengah malam pukul 2, ibu terbangun karena mendengar suara ramai orang. Ia kira itu hanya mimpi, namun kenyataannya turun hujan deras disertai banjir setinggi mata kaki. Dengan panik ia membangunkan suaminya. 

“Ayah cepat bangun! Lihat sekeliling kita sudah masuk banjir!” ucap Sang Ibu panik. 

“Tidak apa-apa, baru seupil itu. Mending tidur lagi dan kita evakuasi pagi hari” ucap Sang Ayah sambil tertidur kembali. 

“Nanti kalo ada binatang kayak ular masuk kan berabe apalagi anak kita loh ini yang pertama masih kecil kan kasihan” ucap Ibu tergesa-gesa karena tidak tenang. 

“Tidak apa-apa, pagi juga tidak akan tinggi ketinggian banjirnya. Mending kita tidur lagi buat pagi ini kan mau jalan-jalan?” ucap Sang Ayah. 

“Jalan-jalan batokmu, udah banjir gini juga” amuk Sang Istri dengan nada tinggi. 

“Tenang ya, aku tidur dulu soalnya aku terlalu capek dari tiap hari jualan cuangki keliling tiba-tiba disuruh jalan-jalan jauh” ucap Sang Suami sambil tertidur pulas. 

Sang Istri yang tak bisa berbuat banyak pun memilih tidur kembali karena mungkin apa yang dikatakan suaminya adalah benar. 

Fajar belum muncul sampai jam 7 pagi. Sang Istri pun tebangun karena mendengar rengekan tangis anaknya yang kedinginan. Ia merasakan sekujur badannya basah. Benar saja, tenyata banjir merendam badan mereka. Untungnya, bayi mereka tidak tercebur dalam genangan banjir. Spontan sang ayah terbangun dan panik untuk mengevakuasi. 

“Udah dibilangin dari semalem masih aja tidur, kan gini jadinya! Kasian anak kamu tuh!” marah Sang Istri. 

“Udah, ayo cepat keluar. Ganti baju anakmu dulu cepat daripada kedinginan nanti aku gendong biar ga kena basah” ucap Sang Ayah geram karena gerakan istrinya lamban. 

“Iya iya. Ambilin baju diatas meja itu sebelum kena basah!, suruh Sang Istri panik. 

Sang Suami pun mengambil pakaian anaknya dan tissue basah agar anaknya tidak iritasi. Setelah mengambil pakaian dan tissue basah tersebut, sang istri dengan sigap mengganti pakaian anaknya dan menyiapkan peralatan dan baju mereka yang terkena basah karena banjir sudah hampir setinggi perut mereka. 

“Ayo cepet keluar!” marah Sang Istri. 

“Sebentar, dompetku ketinggalan diatas kasur” ucap Suami. 

Sang istri pun hanya dapat menahan kesal sambil menggendong barang-barang yang kebasahan sambil menggendong anaknya. 

“Ayo pergi” ucap Sang Suami siap. 

Sang ayah pun menggendong seluruh alat dan keperluan, sedangkan sang Ibu membawa lebih sedikit barang dibarengi dengan menggendong anak perempuannya. Saat itu, banjir sudah setinggi dada bawah mereka. Baru saja mengeluarkan diri dari penginapan itu, Sang Ayah tiba-tiba sedikit mendorongnya dan hilang tak terdengar. 

“Jangan dorong-dorong dong! Santai!” ucap Ibu dengan kesal. 

Ibu merasa aneh karena tidak ada jawaban. Ibu menoleh ke belakang, namun tidak ada siapapun. Ia pun teringat bahwa di depan pengina

“Tolong! Ayah! Ayah dimana! Tolong siapapun selamatkan suami saya!” jerit Ibu sambil meringis. 

“Tolongg!!!!” Ibu menjerit keras. 

“Kenapa bu? Ada kejadian apa disini?” tanya seorang petugas SAR yang sedang keliling menggunakan perahu bersama korban banjir lainnya. 

“Suami saya jatuh ke bawa sumur pak, di sekitar sini itu ada sumur tapi saya tidak tahu letak pastinya “ jawab Ibu tergesa-gesa karena gelisah. 

“Saya panggil tim saya dulu ya, Ibu. Saya juga nyebur dulu ya semuanya, saya takut yang kecebur ga ketolong” ucap salah satu tim SAR diikuti teman-temannya. 

Tim SAR pun mulai mencari Ayah dengan menyelam, salah satu tim SAR menemukan sumur itu dan menemukan Ayah telah tenggelam di dasar sumur. Ia pun menginformasikan adanya korban di dasar sumur kepada rekannya dan mulai mengevakuasi Ayah. Setelah diangkat, Ayah dibawa menggunakan perahu karet dengan korban banjir lainnya beserta Ibu dan anak perempuannya. 

Tim SAR mengayuh perahu menggunakan sampan hingga ke jalan besar dan telah terdapat ambulan. Ayah pun langsung dibawa ke dalam ambulans dan tentu saja istri dan anaknya mengikutinya. Dalam gusarnya, Ibu berdoa kepada Tuhan agar suaminya selamat. Sesampainya di RS Djuanda, Ayah mendapatkan perawatan intensif selama dua hari. Diketahui bahwa Ayah pingsan dan terlalu banyak menghirup air saja serta sedikit shock. Beberapa saat kemudian, sang Ayah pun siuman. 

“Ayah?” tanya Ibu kepada Ayah yang baru siuman. 

“I-iya mah” jawab Ayah sambil menstabilkan kondisinya. 

“Alhamdulillah Ayah sudah bangun” saut Ibu dengan terharu sambil menggendong bayinya. 

“Aku ambilkan minum dulu ya” Ibu menawarkan, lalu Ibu memberi minum kepada Ayah dengan pelan-pelan. 

Ayah pun meminum air putih yang dibawakan Ibu dan mulai bercerita satu sama lain. 

“Maafin aku ya, waktu mau keluar dari penginapan aku sempat dorong kamu, karena aku tidak mau kamu dan anakku yang terperosok. Lebih baik aku yang melindunginya karena ia adalah anak pertamaku, anak perempuanku, meski kamu sedari awal menginginkan anak laki-laki”, tutur Ayah. 

“Maafkan aku karena awalnya aku tidak menganggap anak ini adalah benar-benar anakku yang harusnya aku cintai. Aku salah sedari awal” ucap Ibu sedih. 

“Tidak apa-apa, mulai sekarang kita harus lebih memprioritaskan anak perempuan pertama kita dan jangan hanya memikirkan kesenangan kita saja. Aku juga salah karena dulu aku hanya memikirkan pendidikan Bila hingga dia hanya belajar”, ucap Ayah merasa bersalah. 

Tidak lama kemudian, datang seorang suster memberitahu bahwa keadaan Ayah sudah stabil jika ia telah siuman. Ibu dan Ayah memutuskan pulang hari itu juga menggunakan bus ke terminal terdekat menggunakan uang yang tersisa. 

“Nak, maaf ya kita tidak jadi liburan dan malah mendapat bencana”, tutur Ayah. 

Bila pun hanya tersenyum dengan lucunya. 

Mereka menyadari bahwa mendidik anak tidak perlu terburu-buru, karena anak merupakan karunia Tuhan yang tidak sempurna juga meskipun suci. Yang hanya mereka bisa lakukan yaitu berdo’a. Diketahui juga bahwa peristiwa banjir itu ialah banjir terbesar di Jakarta yang menenggelamkan seluruh bagian Jakarta yang terjadi pada tanggal 1 Februari 2007.

Tanpa sadar, waktu terus berlalu, anak mereka pun tumbuh berkembang hingga akan memasuki masa SMA yang berarti ia sudah remaja. Ia pun bertanya kepada Ibunya. 

“Bu, kapan Ibu menikah dengan Ayah?”, tanya Bila. 

“31 November 2005”, jawab Sang Ibu. 

“Wah, romantis sekali sepertinya ya Bu!” saut Sang Anak. 

Apakah ia lahir prematur? Ataukah ia sebenarnya… ? 

No comments:

Post a Comment

Analisis Unsur Intrinsik Buku Cerita Sejarah Gadis Kretek

  Tokoh dan Penokohan: - Lebas: berjiwa bebas, lontang lantung, tidak teguh pendirian - Romo (Soeraja) : keras kepala, pekerja keras, pantan...